Ciri Khas Akhlak Nabi Saw
Tiada sifat yang lebih besar nilainya di antara semua
sifat yang dimiliki Rasulullah daripada akhlak beliau. Dengan sifat inilah
Allah memuji Nabi dalam firman-Nya :
انك لعلي خلق عظيم
“Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS: al-Qalam 4)
Rasulullah
saw pun bersabda:
انما بعثت لاتمم صالح الا خلاق
“Aku diutus
untuk menghidupkan akhlak yang mulia (makârimul akhlâq).”
Dalam
perbincangan muslimin jika disinggung tentang Rasulullah, bagi mereka akhlak
adalah dakwah terpentingnya, dan beliau menyerukannya. Mafruq Nami ketika masuk
Islam ia memahami apa yang diserukan oleh Rasulullah. Kepada beliau ia berkata:
“Hai saudara Quraisyku! Engkau menyeru umat kepada akhlak yang mulia dan
perbuatan yang baik.”
Rasulullah
dalam madrasahnya lebih menekankan pada akhlak dan beliau mengatakan: “Allah
Maha pemurah!” Beliau menyukai kemuliaan dan nilai-nilai moral dan membenci
perbuatan-perbuatan yang rendah dan keji. Di kesempatan lain beliau bersabda:
“Pada hari kiamat, perkara terberat dalam timbangan orang mukmin adalah akhlak
yang baik.” Dan: “Sebaik-baik sahabatku di antara kalian adalah yang sangat
mencintai masyarakat.."
Dalam
kitab-kitab banyak tema tentang akhlak Nabi terhadap keluarga dan umat beliau.
Di sini kami akan menyinggung sebagiannya dan beberapa metode tarbiyah beliau
berikut penjelasan kandungannya, dalam pendidikan Islam.
Menindak
Penyimpangan Kesucian
Salah satu
aspek penting sejarah kehidupan Nabi saw ialah penjagaan ketat pada
undang-undang samawi. Rasulullah adalah pengikut al-Qur`an dan tidak pernah
melangkah di luar undang-undang Qur`ani. Dalam rangka inilah upaya Nabi, jangan
sampai terjebak pada ifrâth dan tafrîth (hal melampaui batas dan
kelalaian), sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadanya. Ia melangkah secara
konsisten.
و استقم كما امرت
“dan
tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu” (QS: Syura 15)
Jalan itulah
yang berlaku di tengah umat.
Nabi
berusaha keras untuk dapat mengajarkan dan menjelaskan hukum-hukum agama kepada
umat. Dalam hal ini, prinsip yang pokok ialah memahamkan kepada umat bahwa
mereka harus menerima agama dari Allah dan Rasul-Nya, dan mengetahui halal dan
haram berdasarkan al-Qur`an. Di dalam al-Qur`an terdapat beberapa teguran keras
terhadap kaum Yahudi yang mengharamkan sebagian yang halal tanpa alasan.
Sebagaiman
al-Qur`an, Rasulullah dan para imam membenci watak ketidak pedulian itu, mereka
pun tidak menyukai kerahiban yang disebabkan kelemahan daya rasional dan
berpegang pada hal-hal yang tampak di permukaan.
Dalam hadis
diterangkan bahwa Nabi saw melarang muslimin berpuasa dalam safar. Tetapi
sebagian orang tetap saja berpuasa mengikuti kezuhudan yang menyimpang. Nabi
marah atas tindakan mereka ini. Beliau yang sedang di atas onta mengambil
girbah air seraya berkata: “Berbukalah (makan dan minumlah) hai orang-orang
yang berdosa!.” (Tahdzib al-Atsar, Musnad Ibn Abbad, juz 1, hal 92)
Nabi saw
tidak akan menghalalkan dan mengharamkan sesuatu tanpa seizin Allah, terrmasuk
sesuatu yang secara pribadi tidak beliau sukai sekalipun. Misal mengenai
bawang, Nabi berkata: “Siapa yang makan bawang jangan di dekatku!”, pada saat
yang sama beliau bersabda: “Aku tidak mengharamkannya. Sebab aku tidak
diperkenankan oleh Allah mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya. Melainkan aku
hanya tidak menyukai baunya.”
Memperhatikan
halal dan haram dari Allah merupakan prinsip yang diajarkan Nabi kepada umatnya
dan beliau menekankannya. Perkara ini berulang-ulang disampaikan oleh al-Qur`an
bahwa ini adalah undang-undang Allah, dan siapa saja tidak diperkenankan
melampauinya.
Jadi,
al-Qur`an dan hadis harus dipahami secara dalam. Hal melihat yang tampak di
permukaan akan menjebak manusia pada kesalahpahaman. Mengutip sebuah riwayat
berkenaan dengan hal ini; Imam Husein as enggan buka mulut soal rahasia masalah
Shiffin kepada Abdullah yang sama seperti ayahnya, Amr bin Ash, yang berperang
melawan Imam Ali as di Shiffin. Kemudian Abu Said di Madinah menjadi penengah
di antara mereka agar mereka berdamai. Imam mencela Abdullah ketika berbicara
kepadanya: “Kau mengetahui bahwa aku di sisi para penghuni langit adalah
sebaik-baik penghuni bumi” sebagaimana hadis yang dinukil dari Nabi saw. Lalu
kenapa kau hadir di Shiifin dan berperang melawan ayahku yang lebih dari aku?”
Putra Amr
bin Ash menjawab, “Di masa Nabi (saw) aku hidup zuhud dan aku jalani hidup yang
susah. Siang hari aku berpuasa dan malam hari aku bangun beribadah. Ayahku
mengadu kepada Rasulullah tentang amalanku yang berlebihan itu. Lalu beliau
berkata kepadaku: “Patuhlah pada ayahmu!”. Ketika ayah pergi ke Shiffin, aku pun
mematuhinya”
Imam Husein
berkata, “Ini tidak sesuai dengan (sabda Nabi):
لاطاعة لمخلوق في معصية الخالق
“Tiada
ketaatan pada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.”, dan tidak pula sesuai
dengan ayat:
و ان جاهداك انتشرك بي فلا تطعهما
“Jika
kedua orantuamu mengajakmu pada kesyirikan, maka janganlah kamu mematuhi
keduanya.”
Inilah bukti
kekeliruan Abdullah bin Amr bin Ash dalam memahami hadis Nabi saw di antaranya
perintah beliau kepadanya agar mentaati ayahnya, dan ia telah mengikuti
pandangan lahiriah semata.
Kebersihan, Keharuman dan Sebagainya
Nabi saw
menjalani kehidupan sosial dan individualnya dengan sederhana dan sebaik-baik
pola hidup. Ia mengenakan pakaian putih, memakai wewangian, menyisir rambut dan
menyiwak giginya secara rutin.
Bagi beliau
memakai wewangian adalah sebuah prinsip. Dalam hadis diterangkan bahwa di rumah
Nabi, ada satu tempat yang biasa beliau di situ selalu memakai wewangian.
Dalam
riwayat lain, Nabi saw bersabda: “Di dunia ini aku sangat menyukai wewangian
dan salat.”, kemudian mengenai salat beliau bersabda: “Pelipur laraku terletak
pada salat.”
Seorang
perawi hadis menyampaikan: “Ketika itu aku masih kanak-kanak, kami mendatangi
Rasulullah saw, beliau mengusap kepala kami. Di saat tangan beliau mengusap
kepalaku, aku mencium bau harum yang tidak kulupakan hingga sekarang.
Sedemikian harumnya sampai seakan-akan aku berada di samping toko parfum.”
Nabi pun
tidak pernah menolak pemberian parfum dari orang lain. Juga diriwayatkan bahwa
Rasulullah saw dikenali dengan aroma yang wangi.
Nabi
menghindari makan sesuatu berbau yang mengganggu orang lain. Terutama bawang
dan alasan yang beliau lontarkan: “Aku tidak menyukainya lantaran baunya.”
Mewarnai
rambut juga dilakukan oleh Nabi. Beliau juga menganjurkan kaum wanita agar
mereka mewarnai rambut mereka. Jika mereka bersuami, maka mereka melakukannya
untuk suami. Bagi yang belum bersuami, maka mereka melakukannya supaya lebih
diminati oleh kaum laki untuk meminang mereka.
Adalah
sebuah kekeliruan opini masyarakat bahwa kalau bukan orang kaya hendaknya tidak
melakukan hal-hal semacam itu. Nabi sendiri menjalani hidup sederhana; siang
hari duduk di atas tikar yang sama sebagai alas untuk salat-salat beliau di
malam hari. Beliau berinteraksi dengan masyarakat dan melayani tamu-tamunya.
Pola makan beliau pun cukup sederhana; duduk di tanah dan makan di atas tanah.
Diterangkan dalam riwayat bahwa di masa hidup Rasulullah, Ahlulbaitnya lapar
dalam tiga hari berturut-turut.
Nabi Seorang Humoris
Nabi saw
adalah seorang humoris. Tak pernah terlihat beliau bermuka masam dan naik
darah. Dalam hadis diterangkan bahwa Nabi suka bercanda. Namun keceriaan ini
tidak berarti sampai terbahak-bahak, tetapi beliau itu murah senyum.
Diriwayatkan; “Aku tidak pernah melihat Nabi tertawa kecuali tersenyum.
Selain watak
humoris yang tampak pada dirinya, beliau pun bersikap ramah dan lembut terhadap
umatnya. Nabi juga memberi kesempatan orang lain bercanda, sebagaimana riwayat;
seorang Arab badui membawa hadiah untuknya. Setelah beliau memanfaatkannya,
orang itu datang dan menagih uangnya: “Mana uang hadiah kami!”
Setelah itu
bila Nabi merasa gundah, beliau mengatakan: “Kemana si badui itu, yang telah
membuat sirna rasa gundah kita.”
Sudah pasti
Nabi tidak suka dengan canda yang bukan tempatnya. Salah satu humoris masa itu
adalah Abdullah bin Hudzafah. Rasulullah mengangkat dia sebagai pimpinan sebuah
sariah (peperangan yang tidak diserati Nabi). Ia memerintahkan
pasukannya agar menyalakan api, kemudian mengatakan: “Kalian semua lompatlah ke
dalam api!”
Mereka
berkata, “Kami mengimani Nabi supaya kami terhindar dari api!.”
Dalam
riwayat lain, mereka ingin menceburkan dia ke dalam api, lalu ia menolak
sembari berkata: “Aku cuma bercanda!”.
Setelah
mereka kembali dan menemui Nabi, mereka menceritakan itu kepadanya dan beliau
mendukung mereka seraya bersabda: “Tiada ketaatan pada makhluk dalam bermaksiat
kepada Allah.”
Kedatangan
Rasulullah saw dari perang Badar disambut oleh umat. Ketika itu Salamah bin
Salamah yang telah membuat Nabi marah dikarenakan canda yang tidak tepat,
berkata kepada orang-orang: “Ini bukan untuk ucapan selamat, karena kita telah
membunuh sekelompok usia lanjut dan berkepala botak”
Rasulullah
tersenyum dengan ucapannya itu dan berkata: “Mereka adalah orang-orang Quraisy!
Melihat mereka saja orang bisa takut. Sekiranya mereka memberi perintah, kalian
dengan terpaksa akan patuh.”
Saat itu
Salamah mengambil kesempatan untuk bertanya mengapa Rasulullah marah. Beliau
menjawab: “Ketika kami sampai di Ruha` menuju Badar, seorang Arab badui datang
dan bertanya, “Jika kamu seorang nabi, jawablah pertanyaanku, “Akan melahirkan
apa ontaku yang hamil itu?”
Aku jawab,)
“Kamu bilang, kamu sendiri telah berjimak dengannya sampai ia hamil gara-gara
kamu!” Artinya bahwa kamu (hai Salamah) telah bertindak buruk!”
Salamah
meminta maaf kepada Rasulullah dan beliau memaafkannya.
Ibadah Nabi
Ibadah Nabi
adalah pengucualian. Salat tahajud baginya secara pribadi adalah wajib. Allah
menghendaki beliau agar melaksanakan salat di waktu tengah malam atau kurang
sedikit dari itu.
Dalam
al-Qur`an surat Muzammil ayat 20, Allah berfirman:
ان ربك يعلم أنك تقوم ادني من ثلثي الليل و نصفه و ثلثه و طائفة من الذين معك
“Sesungguhnya
Tuhan-mu mengetahui bahwasanya kamu dan segolongan dari orang-orang yang
bersamamu berdiri (salat) kurang dari dua pertiga malam, seperdua malam, atau
sepertiga malam.”
Imam Ali as
di salah satu peperangan mengatakan: “Semua orang tidur, tetapi Nabi sibuk
beribadah. Di antara kami hanya beliaulah yang berdiri di bawah pohon sedang
melaksanakan salat dan menangis, hingga waktu subuh.”
Abu Dzar,
sosok yang zuhud dan ahli ibadah, menyampaikan: “Di satu malam, aku salat
bersama Nabi. Sedemikian rupa beliau berdiri melakukan salat, sampai aku capek
dan menyandarkan kepalaku ke dinding.”
Demikianlah
salat malam yang mengantarkan Nabi pada maqam mahmûd, yakni kedudukan
syafaat. Itulah perintah Allah dalam firman-Nya:
و من الليل فتهجد به نافلة لك عسي أن يبعثك مقاما محمودا
“Dan pada
sebagian malam hari, bacalah Al-Qur’an (dan kerjakanlah salat) sebagai suatu
tugas tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang
terpuji.” (QS: al-Isra 79)
Nabi Rahmat
Allah swt
berfirman:
و ما أرسلناك الا رحمة للعالمين
“Dan
tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
(QS: al-Anbiya 107)
Nabi rahmat
artinya bahwa beliau tidak pernah marah kepada umat. Khususnya dalam masalah
berkaitan dengan bimbingan agama bagi mereka. Dalam riwayat diterangkan bahwa
Nabi tidak marah dan tidak terprofokasi oleh sesuatu; beliau adalah orang yang
paling lapang dada; dan orang-orang menerima kemurahan hati dan budi pekerti
darinya, sehingga beliau menjadi ayah bagi mereka. Semua ungkapan ini artinya
bahwa Nabi memiliki kelapangan dada yang sempurna untuk dapat mencerna
perkataan umat dan berkesempatan dalam membimbing mereka.
Nabi rahmat
artinya bahwa beliau tidak mencela kaum pemuja berhala meskipun mereka
menyakitinya. Rasulullah saw berdoa: “Ya Allah, berilah petunjuk bagi kaumku!”
Ketika
mereka berkata kepada Nabi, “Janganlah kamu mencela kaum musyrik!”, beliau
bersabda, “Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai pengutuk (tukang pencela),
tetapi aku diutus sebagai rahmat.”
Pengaruh
Nabi (saw) tidak hanya bagi kaum muslimin saja, tetapi beliau diutus sebagai
nabi penutup menjadi rahmat bagi seluruh alam, dan rahmat ini untuk selamanya.
Supel dalam Bergaul
Supel dalam
bergaul dengan pola yang khas memiliki arti bagi setiap lapisan. Prilaku khas
seorang pemimpin, seorang penceramah, seorang imam salat atau pengusaha dapat
menarik simpati masyarakat. Nabi termasuk dalam beribadah pun tidak membuat
jemaahnya letih. Tak pernah dengar Nabi berlama-lama dalam salat berjemaah.
Namun demikian, beliau pun tidak menyukai dan akan menegur orang yang
melaksanakan salat dengan terburu-buru. Diterangkan dalam riwayat bahwa Nabi
banyak berzikir, jarang mencela, menyingkat khotbah, tidak merendahkan dan
tidak pula angkuh. Beliau duduk bersama janda dan orang miskin, dan memenuhi
kebutuhan mereka.
Nabi tidak
berharap dihormati orang lain. Sudah tentu Allah menghendaki orang-orang supaya
menjaga kehormatan Rasulullah, namun beliau tidak terikat dengan
penghormatan-penghormatan yang formal. Nabi tidak suka, orang berdiri atasnya
(ketika melihat beliau datang). Nabi menciptakan penuh rasa cinta di
masyarakat. Diriwayatkan; “Tiada seorangpun yang lebih mereka cintai daripada
Rasulullah.” Dan, “Mereka apabila melihat Nabi (datang), mereka tidak akan
bangun terhadapnya. Karena mereka mengetahui bahwa hal itu tidak disukai
olehnya.”
Satu misal
menarik tentang kesupelan dalam bermasyarakat, ialah di saat Nabi melaksanakan
salat, terdengar suara tangis anak-anak. Maka beliau membaca surat pendek
supaya rampung salatnya. Nabi ditanya sebabnya, dan beliau menjawab:
“Seandainya aku memanjangkan salat, akan membuyarkan konsentrasi ibunya; aku
khawatir demikian itu akan menyusahkan kedua orangtuanya.”
Nabi mencari
orang yang paling lemah; di Madinah ada seorang wanita kulit hitam yang
melaksanakan tugas-tugas masjid. Sudah beberapa hari beliau tidak mengetahui
kabarnya. Nabi mencarinya. Kata mereka, “Ia meninggal dunia”
Nabi
berkata, “Apakah kalian tidak menyakiti aku dengan tidak memberi kabar tentang
dia kepadaku!” Orang-orang telah mengira wanita itu tak ada istimewanya,
sehingga mereka tidak perlu memberitahu soal dirinya kepada Rasulullah. Beliau
berkata, “Sekarang tunjukkan kepadaku di mana kuburnya!” Maka mereka
menunjukinya. Nabi pergi ke kuburannya dan mengucapkan salam kepadanya, lalu
berkata, “Kuburan ini diliputi kegelapan bagi para penghuninya dan Allah akan
meneranginya bagi mereka dengan salamku kepada mereka.”
Salah satu
perkara yang sangat penting ialah menghapus buruk sangka dari masyarakat
sehubungan dengan diri mereka. Pada hari-hari terakhir Nabi, beliau
menyampaikan pesan kepada umat, sampai mereka mengira beliau akan
menyia-nyiakan dan mengambil hak mereka. Inilah buruk sangka umat. Misal
lainnya, Shafiyah menyampaikan bahwa Rasulullah sedang beritikaf. Pada suatu
malam aku mendatanginya, dan aku akan pergi setelah berbicara dengannya.
(Ketika itu) Nabi sedang berada di kamar Usamah bin Zaid. Beliau berdiri untuk
memelukku, kepergok oleh dua orang Anshar. Ketika mereka melihat Nabi saw,
mereka terburu-buru. Nabi berkata kepada mereka, “Shafiyah ini putri Huyay bin
Akhtab, isteriku!”
“Subhanallah
ya Rasulullah!”, ucap mereka.
Nabi
berkata, “Sesungguhnya pengaruh syaitan dalam badan seperti darah dalam saraf.
Aku khawatir, terlintas sesuatu di benak kalian dan kalian membayangkan hal
yang bukan-bukan.”
Menyikapi Orang Badui
Nabi saw
menghadapi sekelompok badui, bukan komunitas Arab. Oleh karena itu beliau harus
bersabar dengan sikap merendah. Dalam sebuah riwayat diterangkan; Seorang badui
datang dari perjalanan dan tidak tahu apa itu masjid. Tiba-tiba ia kencing di
salah satu sudut masjid. Para sahabat geram dan akan menghardiknya. Nabi
berkata, “Janganlah kalian menyakiti dia!” Kemudian beliau memanggilnya dan
memberitahunya bahwa masjid tempat zikir dan beribadah, bukan tempat untuk
hal-hal semacam itu.
Muawiyah bin
Hakam menyampaikan: “Ketika aku sedang salat, seseorang bersin. Maka aku
ucapkan, “Yarhamukallah! (Semoga Allah merahmatimu)” Orang-orang menoleh
kepadaku. Lalu orang itu bersin lagi, dan akupun mengucapkan doa itu. Melihat
mereka memandangiku di saat salat, aku bilang kepada mereka, “Semoga ibu kalian
berduka atas kalian! Mengapa kalian memandangiku?!” Orang-orang menepuk paha
mereka, aku terdiam. Nabi usai salat memanggilku. Aku bersumpah demi ayah dan
ibuku, tidak pernah aku melihat seorang guru yang mengajarkan sedemikian baik.
Demi Allah, beliau tidak sampai menyinggung perasaanku dan tidak bertindak
keras terhadapku. Nabi justru mengatakan, “Salat yang kamu laksanakan ini
menjadi sia-sia karena kamu berbicara di dalamnya. Sesungguhnya salat itu
adalah tasbih, takbir dan tilawah al-Qur`an.” (Subul al-Huda 7/19)
Dalam sebuah
riwayat tentang pola pembimbingan agama oleh Rasulullah; seorang bertanya
kepadanya: “Wahai Rasulullah, apa yang harus saya perbuat bila tiba waktu salat
sementara aku dalam keadaan junub (apakah kemudian aku akan berpuasa)?”
Nabi
menjawab, “Terkadang aku juga mengalami hal demikian, (kemudian aku berpuasa
-setelah mandi tentunya,-penerj)”
Orang itu
berkata, “Anda bukan seperti kami dan Anda telah diampuni Allah atas dosa yang
lalu maupun yang akan datang!”
Beliau
berkata, “Demi Allah, aku sungguh berharap untuk menjadi orang yang paling
takut kepada Allah dan menjadi orang yang paling tahu tentang ketakwaan.”
Nabi saw
berkata kepada Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari yang pergi ke Yaman:
“Permudahlah dan janganlah mempersulit! Sampaikan kegembiraan dan janganlah
menimbulkan hal yang tak disukai.”
Sejumlah
orang datang ke Madinah untuk bertanya bagaimana Rasulullah melakukan ibadah.
Setelah mereka menyimak, mereka merasa bahwa ibadah Rasulullah tidak terlalu
banyak. Mereka mengatakan: “Dia itu nabi, dan Allah mengampuninya!”
Seseorang
berkata: “Aku beribadah sepanjang malam hingga subuh!”
Yang lain
mengatakan: “Aku selalu berpuasa”
Dan yang
lain pun mengatakan: “Aku tidak akan menikah!”
Kemudian
Nabi saw datang dan berkata kepada mereka, “Kalian telah mengatakan demikian.
Sedangkan aku yang paling khusuk dan paling bertakwa dari kalian, aku berpuasa
dan kadang tidak. Aku melaksanakan salat, aku tidur dan menikahi wanita. Inilah
sunnahku! Siapa yang tidak suka akan sunnahku maka ia bukan dari golonganku.”